Menata Kembali China Town

Penggambaran pecinan yang dulunya sebagai wajah kota tua Makassar, kini sangat langka untuk kita lihat, pernak-pernik yang dulunya terpasang pada jalan-jalan, rumah dan klenteng sebagai penanda kawasan pecinan makassar.

Warna merah, kuning dan orange yang menghiasi kawasan pecinan, kini sudah sangat jarang kita dapati, tinggal puing dan bangunan tua yang usang dan toko-toko yang berdiri megah. menghiasi kawasan pecinan makassar.

Untuk mengenang kembali sejarah masa lalu kota makassar, kita perlu bersama untuk menata kembali menjadikan kawasan pecinan sebagai saksi sejarah dan bagian dari sejarah kota masa silam untuk menjadi bekal generasi muda bangsa.



Etnis yang Mulai Terlupakan

Etnis tionghoa atau biasa yang kita sebut pendatang dari negeri seberang, yang datang ke Makassar pada dinasti tang dan dinasti ming, yakni abad 14 dan abad 15.

Mereka pertama kali datang ke makassar bertujuan untuk memperdagangkan barang-barang mereka kepada pribumi. senjata, kain dan pernak-pernik merupakan barang yang mereka perdagangkan.

puncak perkemabangan ekonomi Makassar pada abad 18, tidak luput dari peran serta masyarakat tionghoa yang pertama kali datang di Makassar sebagai pedagang.

Kasus penggayangan cina yang terjadi mei 1998, masyarakat lokal mengobrak-abrik kawasan pecinan makassar dengan isu salah satu orang etnis tionghoa membunuh seorang bocah. Peristiwa yang tidak hanya banyak memakan korban dan harta benda ini, juga berimbas pada tinggalan-tinggalan arkeologi. klenteng-klenteng dan bangunan-bangunan bersejarah yang berdiri 300 tahun yang lalu, tidak luput dari aksi anarkis masyarakat.

Kejadian yang terjadi sepuluh tahun yang lalu, membawa memori yang kelam. Kawasan yang menjadi saksi sejarah dan gambaran kota makassar tempo dulu hilang dalam tangan-tangan orang yang tidak bertanggung jawab dalam hitungan menit.

Tempat yang telah dinobatkan menjadi kawasan wisata kota oleh mantan walikota Hasan B Basry ini hancur berkeping-keping bersama sejarah masa lalu.

Dengan adanya situs ini, saya berusaha melahirkan kembali kisah-kisah sejarah masa lalu dan gambaran-gambaran kawasan pecinan yang masih layak untuk dijadikan sebagai obyek wisata budaya.

mari kita bersama melestarikannya....

Tradisi Tionghoa

Selain klenteng sebagai tinggalan arkeologi, tradisi masyarakat Tionghoa yang sudah turun temurun dilaksanakan. Upacara hari raya yang dikenal masyarakat tionghoa yaitu:

Tahun baru Tionghoa (imlek / yinli)

Tahun baru tionghoa biasa dikenal dengan imlek, yang dilaksanakan pada setiap tanggal 15 bulan pertama penanggalan tionghoa yang mengikuti gerak bulan atau bulan februari tahun masehi. Menjelang tahun baru, banyak orang tionghoa melakukan apa yang dinamakan “sembahyang tahun baru” di depan “meja abu” bagi keluarga yang memelihara abu. Sembahyang tahun baru ini diperuntukkan bagi arwah leluhur, yang oleh orang tionghoa disebut hari “Dji Kao-kao”.

Cap Go Meh

Pada tanggal 14 malam, sebagaimana juga pada malam esoknya tanggal 15 dirayakan pesta Goan Siao. Di Indonesia pesta ini lebih dikenal dengan nama Cap Go Meh.

Goan Siao merupakan kata lain dari Cap Go Meh yang artinya “malam goan”. Kata Goan singkatan dari Sing Goan yang artinya bulan pertama tanggal 15, sehingga Goan Meh ialah malam tanggal 15. Ini arti sebutan Cap Go Meh, karena Cap Go = 15 dan Meh = Malam.

Pada perayaan Cap Go Meh tidak ada upacara khusus. Hanya beberapa keluarga mengatur meja sembahyang di halaman muka rumahnya. Mereka melakukan “Sembahyang Sam Kai”, yakni sembahyang kepada: Langit, Bumi dan Manusia.

Ceng Beng atau Ceng Ming

Menurut pertanggalan masehi, hari Ceng Beng ini jatuh pada tanggal 5 atau 6 April. Ceng berarti “Bersih” atau “Murni”, Beng ialah “terang”. Jadi Ceng Beng artinya “Bersih Terang”.

Pada hari tersebut keluarga masyarakat Tionghoa berziarah ke makam leluhur mereka dengan membawa batang dupa, lilin, kertas sembahyang dan sedikit sesajian. Sebelum upacara sembahyang, mereka membersihkan kuburan leluhur mereka.

Phe Cun atau Toan Yang

Pesta ini diadakan pada bulan kelima imlek dengan menggunakan perahu-perahu naga yang diiringi ritme gendering. Perahu ini di hias dengan indah, hidangan di bawa keatas perahu sambil menikmati hidangan yang lezat serta music yang gembira. Pesta ini merupakan salah satu pesta yang terkenal dalam masyarakat Tionghoa.

Perayaan Phe Cun ini untuk memperingati seorang patriot besar Kut Goan. Ia adalah seorang negarawan besar, tokoh pendamai, penyair kenamaan, dan seorang filsuf. Kut Goan seorang menteri dan tokoh legendaris Tiong Hoa yang mati bunuh diri dengan cara menenggelamkan diri di sungai Mi Lo Profinsi Hunan karena tidak tega melihat negaranya hancur diserang Negara lain. Oleh karena itu setiap tanggal tersebut banyak orang berbondong-bondong pergi ke sungai dan melemparkan sekepal nasi yang dibungkus dengan daun bamboo yang dikenal dengan bacang yang artinya kue yang berisi daging babi.

Cioko

Adalah upacara sembahyang keistimewaan dalam bulan ketujuh dalam penanggalan Tionghoa yang dikenal dengan nama sembahyang rebutan. Sembahyang ini diadakan untuk memberikan makan banyak roh yang tidak sempat atau tidak lagi disembahyangi oleh keluarganya.

Bulan Purnama (tanggal 15 bulan kedelapan)

Upacara yang diselenggarakan pada tanggal 15 kedelapan penanggalan Tionghoa ini sebenarnya tidak begitu dikenal, justru kue yang menyertainya yang disebut kue bulan atau Tian Ciu Pia (Kue Chung Chiu). Di Tionghoa perayaan ini disebut Chung Chiu.




Klenteng Pecinan Makassar


Klenteng Chu Su Kong
Klenteng ini berada pada posisi 119° 24’ 583” BT dan 5° 7’ 740”. Menempati areal tanah seluas 180,2 m². Secara administratif Klenteng Chu Su Kong terletak di jalan Lombok No. 32, Kelurahan Pattunuang, Kecamatan Wajo, Kotamadya Makassar, Propinsi Sulawesi Selatan. Adapun batas-batas sebagai berikut:

· Sebelah utara : Jalan Timor
· Sebelah selatan : Hotel Dinasti
· Sebelah timur : Pemukiman penduduk
· Sebelah barat : Jalan Lombok

Klenteng Chu Su Kong oleh masyarakat Tionghoa dibangun untuk menghormati tokoh masyarakat yang dianggap berjasa dalam bidang kesehatan oleh masyarakat. Klenteng ini berperan sebagai media peribadatan bagi masyarakat tionghoa di makassar. Masyarakat Tionghoa di makassar percaya bahwa dengan meminta doa di klenteng ini dapat memberikan keselamatan dan kesembuhan dari berbagai penyakit yang diderita.

Klenteng Ibu Agung Bahari

Klenteng Ibu Agung Bahari terletak di pusat kota Makassar, tepatnya di sebelah barat poros Jalan Sulawesi No. 41, sudut selatan persimpangan jalan Serui yang merupakan wilayah masyarakat Tionghoa. Sebelum bernama Klenteng Ibu Agung Bahari, klenteng ini bernama Thian Hoo Kiang yang berarti Istana Ratu Langit

Pada awal pembangunan klenteng ini menghadap ke laut (barat) agar memudahkan para saudagar-saudagar untuk beribadah sampai pada masa Dinasti Mansyuri. Tetapi karena adanya kebijakan politik dari pemerintah Hindia Belanda maka arah hadap dari klenteng tersebut dirubah menghadap timur pada tahun 1738 M. Pemerintah Hindia Belanda khawatir bila orang Tionghoa telah berhasil maka mereka akan meninggalkan Makassar dan kembali ke kampung halamannya.

Orang Hindia Belanda mempunyai anggapan bahwa orang Tionghoa sebagai suatu potensi yang menguntungkan sehingga mereka melarang orang Tionghoa pulang ke kampung halamannya. Untuk mengantisipasi hal tersebut, maka pemerintah Hindia Belanda bermusyawarah dengan pemimpin orang Tionghoa. Hasil yang diperoleh dari musyawarah disepakati bahwa jalan satu-satunya arah hadap dari klenteng tersebut harus dirubah.

Setelah perubahan besar yang terjadi, orang Tionghoa yang percaya terhadap klenteng tersebut merasa takut berlayar. Menurut mereka Dewi Laut (Ma Co Po) atau Thian Hou tidak akan menolong melainkan akan murka terhadap mereka karena klenteng tersebut telah menyalahi prinsip kepercayaan Tionghoa. Prinsip kepercayaan mereka berdasarkan Feng Shui yaitu dihubungkan dengan lima unsur kepercayan Tionghoa yaitu : air, api, kayu, logam dan tanah.

Denah bangunan Klenteng Ibu Agung Bahari berbentuk empat persegi panjang dengan gaya arsitektur khas Tiongkok yang sangat megah. Ciri khas tersebut masih tampak jelas pada bentuk atap dan motif-motif dekoratifnya.

Data otentik tentang pembangunan Klenteng Ibu Agung Bahari.dapat dilihat pada dua buah prasasti yang terdapat pada bangunan paling depan klenteng tersebut. Batu peringatan (prasasti) tersebut terletak pada dinding sisi selatan dan utara bertanggal tahun ke-6 (1867).

Selain klenteng yang disebutkan di atas, masih ada 2 buah klenteng lagi yang juga perlu mendapatkan perhatian yaitu,. Klenteng Siang Ma dan Klenteng Kwang Kong.

"Pecinan Makassar"



Awal
mula orang Cina pertama kali menginjakkan kakinya di Indonesia tidak dapat diketahui secara pasti. Tetapi dari fakta-fakta arkeologi dan informasi sejarah diketahui bahwa orang Cina sudah ada dan menetap di Makassar sejak dinasti Ming abad XIV. Hal ini diketahui berdasarkan indikasi pada tinggalan arkeologis berupa prasasti yang terdapat pada salah satu makam di kompleks pekuburan Cina tertua di sekitar Pasar Sentral.


Sumber lain yang juga juga menerangkan bahwa orang Cina datang ke Indonesia pada pemerintahan dinasti Tang abad XV. Kedatangan mereka memiliki pengaruh yang sangat penting terhadap perkembangan masyarakat Indonesia. Umumnya masyarakat Cina merupakan pedagang yang singgah di pelabuhan-pelabuhan, kemudian menetap dan mendirikan pemukiman yang dikenal dengan istilah “pecinan”


Pada awal abad ke-18 (sekitar tahun 1930-an), Makassar terbentuk menjadi kota dagang dan administrasi. Banyak pendatang terutama yang berekonomi rendah tinggal di kampung-kampung dalam lingkungan keluarga orang-orang Asia. Sementara Vlaardingen berkembang dengan kondisi yang lebih baik. Kota Makassar pada abad ke-17 memperlihatkan kepada kita bahwa Vlaardingen berupa sebuah lingkungan pemukiman yang terdiri dari “kotak-kotak” segi empat. Pola tersebut dibentuk oleh jalur-jalur jalan membujur dari utara-selatan dan timur-barat. Empat diantara jalan-jalan yang membujur adalah: Cinastraat (Passerstraat) sekarang jalan Nusantara paling barat; Tuinstraat (Tempelstraat) sekarang jalan Irian; Middlestraat (sekarang jalan Bonerate) dan Burgherstraat (sekarang jalan Jampea).


Tuinstraat
merupakan salah satu jalan yang paling besar dibandingkan dengan jalan-jalan yang ada di kawasan Vlaardingen pada saat itu. Sedang bagian kota paling sibuk di Makassar pada zaman kolonial awal ini adalah Cinastraat yang kemudian diberi nama Passerstraat, yaitu sebuah jalan menyusur pantai Selat Makassar.

Sampai pada tahun 50-an, pola ruang kota Makassar tidak banyak mengalami perubahan. Struktur kota yang terbentuk dalam proses perkembangan sosial, ekonomi dan politik kolonial masih sama, terdiri dari pusat kota dikelilingi oleh kampung Cina, kawasan perdagangan dan bagian pinggiran berupa kampung-kampung pribumi. Perbedaannya hanyalah para pegawai pemerintah, perusahaan, pengusaha, militer Belanda atau Eropa lainnya yang masa sebelumnya menghuni kawasan eksklusif sudah tidak ada lagi. Pembagian kota menjadi empat bagian administratif, seperti pada zaman Belanda masih dipakai yaitu distrik Makassar, Wajo, Ujung Tanah dan Mariso. Untuk perkembangan, pemerintah menambah cakupan administrasinya pada daerah yang sebagian besar masih berupa sawah, ladang dan rawa di sebelah barat distrik Ujung Tanah (sekarang termasuk kecamatan Panakkukang). Distrik kelima dalam wilayah administrasi kota besar makassar ini memakai nama Karuwisi, nama sebuah kampung yang sudah ada sebelumnya.